HARAPAN DI UJUNG SURAT

    


;

    Setiap malam, aku duduk di meja tulis, menulis surat sebagai bentuk menumpahkan keluh kesah. Surat-surat itu tidak pernah aku kirimkan kepada siapa pun, tetapi mereka menjadi jembatan antara hatiku dan kesunyian. Suatu malam, dalam tumpukan surat-surat lama, aku menemukan surat yang berbeda, yang ditulis oleh seseorang yang aku kenal, bagaimana itu bisa ada disana, pikir ku. Surat itu mengungkapkan perasaan yang terpendam, dan aku harus memutuskan apakah aku siap untuk membacanya.

    Ketika aku membuka amplop yang sudah usang, aroma kertas dan tinta yang akrab menyergap ingatan. Tanganku bergetar saat menarik surat itu keluar. Tulisan tangan yang rapi dan indah itu seolah membawa ku kembali ke masa-masa ketika kami berbagi tawa dan cerita. Setiap huruf seolah berbisik, menghidupkan kembali kenangan yang telah lama terpendam dalam relung jiwa.

"Kepada siapa pun yang membaca ini,"

    Aku mulai membaca, dan suara hatiku bergetar seiring dengan kata-kata yang tertulis. Surat itu dimulai dengan pengakuan tentang perjuangan yang tak terlihat, tentang badai yang mengamuk di dalam jiwa. Dia menulis tentang bagaimana setiap hari terasa seperti melawan arus, bagaimana rasa cemas dan depresi menggerogoti harapan yang tersisa. Dia menceritakan momen-momen ketika kegelapan terjadi, dan cahaya tampak begitu jauh.

"Aku ingin kamu tahu bahwa aku merasa seperti terjebak dalam labirin tanpa ujung. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, dan aku tidak tahu bagaimana cara menemukan jalan pulang."

    Aku terdiam sejenak, memikirkan kalimat itu. Tak pernah terbayang bahwa di balik senyumnya, ada lautan kesedihan yang dalam. Surat ini membuka mataku pada sisi lain dari dirinya yang tak pernah ia tunjukkan, sisi yang penuh dengan kerentanan dan harapan yang pudar.

    Dia melanjutkan dengan menceritakan tentang momen-momen ketika dia merasa terasing, bahkan di tengah keramaian. Dia menulis tentang bagaimana suara-suara di kepalanya sering kali lebih keras daripada tawa di sekitarnya. Setiap kata terasa seperti cermin yang memantulkan cahaya yang sama yang aku rasakan.

"Aku berharap suatu hari aku bisa menemukan keberanian untuk berbicara tentang apa yang aku rasakan. Hidup ini terlalu berharga untuk dihabiskan dalam kesunyian yang mencekam."

    Aku merasa terhubung dengan kata-kata itu. Aku juga sering terjebak dalam rutinitas yang membelenggu. Surat ini bukan hanya tentang dia, ini adalah tentang kita semua yang berjuang melawan bayang-bayang dalam diri. Aku melanjutkan membaca, dan saat aku melakukannya, air mata mengalir di pipi ku, membasahi kertas yang penuh harapan.

    Dia menulis tentang keinginannya untuk mencari bantuan, untuk berbicara dengan seseorang tentang apa yang dia rasakan. Dia mengutarakan harapan dan impian yang selama ini terpendam, dan aku merasa seolah-olah sedang mendengarkan suara yang hilang dan redup ditelan oleh rasa sakit. Dia ingin menemukan cara untuk meraih kembali cahaya yang pernah ada dalam dirinya.

"Jika kamu menemukan surat ini, ingatlah bahwa tidak apa-apa untuk meminta bantuan. Kita tidak perlu berjuang sendirian dalam kegelapan."

    Aku mengerti, surat itu membuatku seolah-olah sedang berbicara langsung padanya. Aku ingin berteriak, ingin memahami bahwa aku juga merasakannya, bahwa aku ingin dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Namun, dia sudah pergi, dan semua yang tersisa hanyalah kata-kata.


𝚍𝚎𝚊𝚛𝚊𝚠𝚊𝚓𝚗𝚊

Komentar